Monday, 5 December 2016

analisis penghapusan ujian nasional

Landasan Pendidikan
ANALISIS ISU-ISU ARTIKEL
UJIAN NASIONAL DIHAPUS
TUGAS AKHIR
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Pendidikan
                                 yang dibina oleh Dr. Waras Kamdi, M.Pd






disusun oleh :
Muhammad Zainul Arifin (160431800789)
          



UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS PASCASARJANA
PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN EKONOMI
DESEMBER 2016


ARTIKEL UJIAN NASIONAL DIHAPUS
Oleh M. Zainul Arifin (160431800789)
Seperti yang telah dikabarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bahwa UN direncanakan dihentikan untuk sementara pada tahun 2017 ini. Dalam putusan itu, pemerintah diperintahkan untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi di seluruh Indonesia. Namun keputusan ini belum final seperti yang dikabarkan oleh Presiden Jokowi. Ia menegaskan bahwa penghapusan Ujian Nasional (UN) yang diwacanakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, masih sebatas wacana. “Masih proses. Belum dirataskan (rapat terbatas), belum” ujar Jokowi di sela kunjungan kerjanya di kota Makassar, sebagaimana dikutip dari siaran pers resmi Istana, Sabtu (26/11/2016).
Meskipun belum jelas apakah penghapusan UN ini benar-benar dilaksanakan ataupun tidak, namun hal ini cukup meresahkan masyarakat, terutama siswa siswi yang akan menghadapi UN di tahun 2017 ini. Memasuki bulan Desember menandakan hampir berakhirnya semester 1 tahun ajaran 2016/2017 dan seperti biasanya, bagi siswa siswi yang sedang berada di kelas 6, 9 (kelas 3 SMP), dan 12 (kelas 3 SMA) sudah hampir menyelesaikan materi dari semester 1 maupun semester 2. Pengejaran materi ini dilakukan karena adanya UN yang mencakup seluruh materi selama SD/ SMP/ SMA dan semester 2 yang digunakan untuk berbagai macam Try Out (TO), ujian praktik, ujian sekolah, hingga ujian nasional, sehingga sekolah tidak lagi dapat menyelesaikan pelajaran tepat waktu alias harus dipercepat. Menurut pendapat siswa siswi akhir tingkatan ini, beberapa dari mereka merasa kesulitan dan kelelahan menghadapi pengejaran materi ini. Dari sebab itu, masyarakat dan sekolah sendiri masih bingung dengan metode seperti ini, apakah efektif atau tidak. Dengan kabar penghapusan UN ini, maka sebenarnya pengejaran materi tidak perlu dilakukan karena dengan tidak adanya UN maka try out dan ujian komprehensif juga ditiadakan dan para murid masih mempunyai banyak waktu untuk menyelesaikan materi.
Dibalik keresahan masyarakat, ada beberapa alasan yang perlu diperhatikan mengenai penghapusan UN ini, yaitu mengenai memetaan pendidikan di Indonesia. Dari hasil-hasil UN beberapa tahun yang lalu, terlihat bahwa banyak sekolah-sekolah yang masih kesulitan dalam menghadapi UN. Terhitung hanya sekitar 30% sekolah-sekolah di Indonesia yang memenuhi standar untuk mengikuti ujian nasional. Hal itu menyebabkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengambil tindakan tersebut untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia dengan menaruh perhatiannya bagi pendidikan sekolah-sekolah yang kesulitan dan menghentikan UN untuk sementara sampai keadaan lebih baik, atau sampai ditemukannya cara untuk menyelenggarakan ujian nasional ini seefisien mungkin dan seadil mungkin.
Mengenai penghapusan UN ini masih dibicarakan dan dipertimbangkan oleh pemerintah, oleh karena itu tidak bisa dipastikan bagaimana jadwal pembelajaran yang akan dihadapi oleh para siswa, masih samakah atau berubah. Perlu diketahui sejak tahun kemarin UN bukan merupakan syarat kelulusan, adanya UN lebih untuk mengukur atau sebagai sarana pemetaan pendidikan di Indonesia. Kelulusan para siswa akan bergantung pada hasil ujian sekolah dan ujian praktik yang diselenggarakan sekolah, sehingga ada atau tidaknya UN tidak begitu berefek fatal.
Sistem pendidikan yang masih berubah-ubah ini merupakan perwujudan perbaikan pendidikan Indonesia oleh pemerintah, namun tetap dalam mengubahnya sangat diperlukan pertimbangan matang agar tindakan yang diambil tidak membuat sistem ini semakin kacau. Semoga apapun tindakan yang diambil dapat semakin memajukan Indonesia, karena pendidikan adalah dasar penggerak kehidupan dan sarana pembentuk generasi muda yang siap membangun Indonesia menjadi lebih baik.
ANALISIS
Dalam pembahasan ini dijelaskan analisa kebijakan UAN yang bertentangan dengan UU Sisdiknas dan bentuk evaluasi di dalam pendidikan. Pertama, ada anggapan dari sebagian orang, terutama para pejabat Legislatif yang menganggap bahwa UAN bertentangan dengan UU Sisdiknas. Dimana Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UAN sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 disebutkan bahwa tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas.
Begitu pula evaluasi dalam pendidikan seharusnya dapat memberikan gambaran tentang pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003. Evaluasi seharusnya mampu memberikan informasi tentang sejauh mana kesehatan peserta didik. Evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting seperti yang dipaparkan oleh McNeil. Selain itupula dalam evaluasi pendidikan diharapkan dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan juga dapat meningkatkan kreativitas, kemandirian dan sikap demokratis peserta didik
Dari paparan di atas, yang menjadi pertanyaan apakah mutu pendidikan dapat diukur dengan memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun ajaran? Apalagi bila dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku siswa, apakah bisa dilihat hanya pada saat sekejap di penghujung tahun? Mutu pendidikan pada tingkat nasional dapat dilihat dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan UAN sebagaimana yang dipraktekkan belum menjawab pertanyaan sejauh mana mutu pendidikan di Indonesia, apakah menurun atau meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan terdapat indikasi bahwa soal-soal UAN (yang dulu disebut Ebtanas) berbeda dari tahun ke tahun, dan seandainya hal ini benar maka akibatnya tidak bisa dibandingkannya hasil ujian antara tahun lalu dengan sekarang. Selain itu mutu pendidikan tidak mungkin diukur dengan hanya memberikan tes pada beberapa mata pelajaran ‘penting’ saja, apalagi dilaksanakan sekali di akhir tahun pelajaran. Mutu pendidikan terkait dengan semua mata pelajaran dan pembiasaan yang dipelajari dan ditanamkan di sekolah, bukan hanya pengetahuan kognitif saja. UAN tidak akan dapat menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan anak didik dalam mengenal seni, olah raga, dan menyanyi. UAN tidak akan mampu melihat mutu pendidikan dari sisi percaya diri dan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata lain, UAN tidak akan mampu menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu pendidikan. Artinya tujuan yang diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan penyelenggaraan UAN.
Selain itu pula UAN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa mata pelajaran tidak mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan. Karena tes yang dilaksanakan di bagian akhir tahun pelajaran tidak dapat memberikan gambaran tentang perkembangan pendidikan peserta didik, tes tersebut tidak dapat memperhatikan proses belajar mengajar dalam keseharian karena tes tertulis tidak dapat melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar anak selain itu pula tes di ujung tahun ajaran tidak dapat menyajikan keterampilan siswa yang sesungguhnya dan juga hasil tes tidak dapat menggambarkan kemampuan dan keterampilan anak selama mengikuti pelajaran. Oleh karena itu terjadi pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan bentuk ujian yang diterapkan, karena pengukuran hasil belajar tidak bisa diukur hanya dengan memberikan tes di akhir tahun ajaran saja.
Kedua, tujuan UAN yang lain dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 adalah untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Adalah ironis kalau UAN dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan pendidikan, karena pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif, afektif, dan psikomotor. Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang semuanya itu tidak dapat dilihat hanya dengan penyelenggaraan UAN. Dengan kata lain, UAN belum memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Ketiga, jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UAN juga tidak sejalan dengan salah satu prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum yaitu diversifikasi kurikulum. Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing. Kondisi sekolah di Jakarta dan kota-kota besar tidak bisa disamakan dengan kondisi sekolah-sekolah di daerah perkampungan, apalagi di daerah terpencil. Kondisi yang jauh berbeda mengakibatkan proses belajar mengajar juga berbeda. Sekolah di lingkungan kota relatif lebih baik karena sarana dan prasana lebih lengkap. Tetapi di daerah-daerah pelosok keberadaan sarana dan prasarana serba terbatas, bahkan kadang jumlah guru pun kurang dan yang ada pun tidak kualified akibat ketiadaan. Kebijakan penerapan UAN dengan standar yang sama untuk semua sekolah di Indonesia telah melanggar prinsip tersebut dan mengakibatkan ketidakadilan bagi peserta didik yang tentu saja hasilnya akan jauh berbeda, sedangkan kebijakan yang diambil adalah menyamakan mereka.
Keempat, pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran yang dianggap “penting” juga memiliki permasalahan tersendiri. Sekarang yang terjadi orang akan beranggapan hanya matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan IPA yang merupakan mata pelajaran penting. Sedangkan ada diantara kita anak-anak yang memiliki bakat untuk melukis atau olahraga, mereka akan meragukan bahwa pelajaran tersebut merupakan pelajaran penting bagi dia. Sehingga bakat tersebut akan terkubur dengan sendirinya karena yang ada di benak mereka adalah bagaimana mereka bisa lulus dalam UAN tersebut. Dengan demikian pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran akan mendorong guru untuk cenderung mengajarkan hanya mata pelajaran tersebut, karena yang lain tidak akan dilakukan ujian nasional. Hal ini dapat berakibat terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak semua anak senang pada mata pelajaran yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi peremehan terhadap mata pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.
Kelima, tingkat kreativitas guru empat mata pelajaran tersebut akan terkekang karena dikejar target untuk menyelesaikan materi. Selain itu pula metode pembelajaran yang seharusnya bisa disajikan secara menarik dan dikembangkan sesuai dengan implementasi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari tergantikan dengan metode drill latihan soal dan peserta didik hanya “dicekoki” dengan bagaimana dapat menjawab soal-soal pada empat mata pelajaran tersebut.
Keenam, beberapa orang berpendapat bahwa UAN bertentangan dengan kebijakan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Hal ini dapat dipahami sebagai berikut. Kebijakan UAN dilaksanakan bersamaan dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah. Selain itu pada saat yang sama juga dikenalkan kebijakan otonomi sekolah melalui manajemen berbasis sekolah. Evaluasi sudah seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab daerah termasuk sekolah, tetapi pelaksanaan UAN telah membuat otonomi sekolah menjadi terkurangi karena sekolah harus tetap mengikuti kebijakan UAN yang diatur dari pusat. Selain itu UAN berfungsi untuk menentukan kelulusan siswa. Padahal pendidikan merupakan salah satu bidang yang diotonomikan, kecuali sistem dan perencanaan pendidikan yang diatur secara nasional termasuk kurikulum. Di sisi lain, dengan adanya kebijakan otonomi sekolah yang berhak meluluskan siswa adalah sekolah melalui kebijakan manajemen berbasis sekolah. UAN telah dijadikan alat untuk “menghakim” siswa, tetapi dengan cara yang tanggung karena dengan memberikan batasan nilai minimal 4.25. Dengan menetapkan nilai serendah itu, maka berarti bahwa standar mutu pendidikan di Indonesia memang ditetapkan sangat rendah. Kalau direnungkan, apa arti nilai 4 pada suatu ujian. Nilai 4 dapat diartikan hanya 40% dari seluruh soal yang diujikan dikuasai, padahal secara umum pada bagian lain diakui bahwa nilai yang dapat diterima untuk dinyatakan cukup atau baik adalah di atas 6. Dengan kata lain, UAN selain menetapkan standar mutu pendidikan yang sangat rendah telah “menghakimi” semua siswa tanpa melihat latar belakang, situasi, kondisi, sarana dan prasarana serta proses belajar mengajar yang dialami terutama siswa di daerah pedesaan.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa UAN banyak bertentangan dengan evaluasi pendidikan bahkan dengan tujuannya sendiri, sehingga sulit dipertahankan. Seandainya Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UAN maka selama itu perdebatan dan ketidakadilan akan terjadi di dunia pendidikan karena memperlakukan tes yang sama kepada semua anak Indonesia yang kondisinya diakui berbeda-beda. Selain itu salah satu prinsip pendidikan adalah berpusat pada anak, artinya pendidikan harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Memperlakukan semua anak dengan memberikan UAN sama artinya menganggap semua anak berpotensi sama untuk menguasai mata pelajaran yang diujikan, padahal kenyataannya berbeda.
Sebaiknya, evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Sekolah yang berkualitas akan memiliki tes masuk yang relevan, dan sekolah yang kurang bermutu akan ditinggalkan masyarakat. Selain itu sekolah yang menghasilkan lulusan yang tidak bisa menerobos ke sekolah berikutnya juga akan ditinggalkan masyarakat. Dengan demikian akan terjadi persaingan sehat antar sekolah dalam menghasilkan lulusan yang terbaik dalam arti dapat melanjutkan ke sekolah berikutnya. Sistem penerimaan dengan mengacu pada UAN akan berakibat pada manipulasi data, bahkan membuka peluang terjadinya kecurangan. Pada umumnya sekolah berlomba-lomba untuk meluluskan siswa-siswanya dengan cara memberikan nilai kelulusan yang tinggi. Tetapi dengan adanya tes masuk pada sekolah berikutnya (kecuali masuk SLTP harus lanjut karena masih dalam cakupan wajib belajar), maka sekolah akan berlomba untuk membuat siswanya disamping lulus juga diterima di sekolah berikutnya. Selain itu sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya ke sekolah juga diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman untuk melakukan evaluasi tetap diperlukan dalam memberikan petunjuk bagi guru agar dalam melakukan evaluasi tetap mengacu kepada kaedah-kaedah evaluasi yang berlaku secara umum.
Apabila UAN tetap dipertahankan maka tujuan dan pelaksanaannya harus dimodifikasi dimana UAN bukan bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa tetapi dipakai sebagai pengendalian mutu pendidikan. Artinya UAN tidak perlu dikaitkan dengan kelulusan siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan pendidikan pada umumnya. Dengan tujuan ini maka standar nilai UAN haruslah minimal 6 sebagaimana pada umumnya dan hanya berpengaruh pada kredibilitas sekolah. Bila suatu evaluasi mengacu pada hal tersebut di atas maka UAN bukanlah suatu kebijakan yang patut dipertentangkan lagi.
Oleh karena itu agar didapat suatu kebijakan nasional yang utuh tentang sistem penilaian pendidikan maka pemerintah dapat melakukan langkah perumusan ulang kebijakan UAN dan sistem penilaian tersebut secara komprehensif dengan melakukan pelurusan kebijakan-kebijakan tersebut. Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain pembentukan Tim Perumusan Kebijakan Nasional tentang Penilaian Pendidikan. Tim ini bisa dibentuk oleh Depdiknas yang BSNP menjadi leading sectornya dan anggotanya bisa berasal dari elemen-elemen masyarakat pendidikan, termasuk juga DPR Komisi Pendidikan, para pakar pendidikan, organisasi profesi independen seperti PGRI, LSM pendidikan dan sebagainya. Kemudian tim tersebut dapat melakukan evaluasi dan kajian terhadap semua kebijakan yang terkait dengan penilaian pendidikan di negeri ini misalnya dengan melakukan studi banding ke negara lain untuk mencari model yang sesuai dengan Indonesia dan kemudian merumuskannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta melaporkan hasil kerjanya kepada Pemerintah. Hasil dari kegiatan kajian tersebut akan menghasilkan butir-butir rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam bidang penilaian pendidikan. Adapun kajian-kajian yang dilakukan tersebut dapat berupa substansi seperti :
1. Pelaksana tugas penilaian, seperti penilaian formatif, sumatif dan ujian akhir serta berbagai jenis penilaian lainnya dari tinggkat dasar sampai perguruan tinggi
2. Pengembangan model-model ujian akhir, penentu kelulusan atau tamat sampai dengan kemungkinan menggunakan ujian akhir online (online assessment) perlu diantisipasi dalam era teknologi informasi.
3. Bentuk-bentuk laporan pendidikan seperti rapor, sistem peringkat, sistem pemberian skor atau nilai.
4. Apakah diperlukan adanya standar kelulusan sebagimana telah ditetapkan dalam PP tentang Standar Nasional Pendidikan?
5. Dan masih banyak yang lainnya yang perlu dikaji secara mendalam.
Proses kajian dan evaluasi tersebut akan menghasilkan rekomendasi yang akan menjadi pegangan utama pemerintah untuk merumuskan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP).
Terakhir, pemerintah mengeluarkan PP atau setidaknya Peraturan Menteri tentang sistem penilaian pendidikan tersebut, untuk kemudian dilaksanakan dimana PP ini secara komprehensif akan mengatur tentang hal-hal sampai yang terkecil. Setelah PP dapat diterbitkan maka kebijakan itu harus dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten.

KRITIK DAN SARAN
Begitu banyak pertentangan tentang kebijakan UAN dengan model evaluasi pendidikan yang seharusnya, tujuan pendidikan nasional maupun dengan tujuan UAN itu sendiri. Dimana kebijakan UAN kontra produktif bagi pendidikan nasional dan tujuan yang ingin dicapai menjadi gagal total bahkan hanya menimbulkan masalah baru. Kecurangan sistematik tidak hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi pendidikan nasional tapi juga berdampak buruk bagi guru dan murid dan juga kreativitas murid terkungkung karena perhatian dan porsi pembelajaran lebih besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, penuh kreativitas dan mandiri serta dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi.
Oleh karena itu pemerintah harus mengkaji ulang tentang kebijakan UAN ini atau memberikan kepercayaan kepada tim agar dapat melakukan kegiatannya secara optimal. Dengan cara demikian maka perumusan kebijakan nasional pendidikan akan berjalan sesuai dengan aspirasi masyarakat dan menghasilkan kebijakan yang tepat bagi perkembangan bangsa dan Negara di masa mendatang.




DAFTAR RUJUKAN

Valerie,Vivian. 2016 http://www.kompasiana.com/amp/vivianvalerie/ penghapusan-ujian-nasional-un-2017-berita-baik-atau buruk _5839bce252f9fd2414e9bbdf.(online).diakses 6 Desember 2016.

No comments:

Post a Comment