Landasan Pendidikan
ANALISIS ISU-ISU
ARTIKEL 
UJIAN NASIONAL DIHAPUS
TUGAS AKHIR
Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Landasan
Pendidikan
                                 yang dibina oleh Dr. Waras Kamdi, M.Pd
disusun oleh :
Muhammad Zainul Arifin (160431800789)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS PASCASARJANA
PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN EKONOMI
DESEMBER 2016
ARTIKEL UJIAN NASIONAL DIHAPUS
Oleh M. Zainul Arifin (160431800789)
Seperti
yang telah dikabarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy
bahwa UN direncanakan dihentikan untuk sementara pada tahun 2017 ini. Dalam
putusan itu, pemerintah diperintahkan untuk meningkatkan kualitas guru,
kelengkapan sarana dan prasarana sekolah serta akses informasi di seluruh
Indonesia. Namun keputusan ini belum final seperti yang dikabarkan oleh
Presiden Jokowi. Ia menegaskan bahwa penghapusan Ujian Nasional (UN) yang
diwacanakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, masih sebatas wacana. “Masih
proses. Belum dirataskan (rapat terbatas), belum” ujar Jokowi di sela kunjungan
kerjanya di kota Makassar, sebagaimana dikutip dari siaran pers resmi Istana,
Sabtu (26/11/2016).
Meskipun
belum jelas apakah penghapusan UN ini benar-benar dilaksanakan ataupun tidak,
namun hal ini cukup meresahkan masyarakat, terutama siswa siswi yang akan
menghadapi UN di tahun 2017 ini. Memasuki bulan Desember menandakan hampir
berakhirnya semester 1 tahun ajaran 2016/2017 dan seperti biasanya, bagi siswa
siswi yang sedang berada di kelas 6, 9 (kelas 3 SMP), dan 12 (kelas 3 SMA) sudah
hampir menyelesaikan materi dari semester 1 maupun semester 2. Pengejaran
materi ini dilakukan karena adanya UN yang mencakup seluruh materi selama SD/
SMP/ SMA dan semester 2 yang digunakan untuk berbagai macam Try Out (TO), ujian
praktik, ujian sekolah, hingga ujian nasional, sehingga sekolah tidak lagi
dapat menyelesaikan pelajaran tepat waktu alias harus dipercepat. Menurut
pendapat siswa siswi akhir tingkatan ini, beberapa dari mereka merasa kesulitan
dan kelelahan menghadapi pengejaran materi ini. Dari sebab itu, masyarakat dan
sekolah sendiri masih bingung dengan metode seperti ini, apakah efektif atau
tidak. Dengan kabar penghapusan UN ini, maka sebenarnya pengejaran materi tidak
perlu dilakukan karena dengan tidak adanya UN maka try out dan ujian
komprehensif juga ditiadakan dan para murid masih mempunyai banyak waktu untuk
menyelesaikan materi.
Dibalik
keresahan masyarakat, ada beberapa alasan yang perlu diperhatikan mengenai
penghapusan UN ini, yaitu mengenai memetaan pendidikan di Indonesia. Dari
hasil-hasil UN beberapa tahun yang lalu, terlihat bahwa banyak sekolah-sekolah
yang masih kesulitan dalam menghadapi UN. Terhitung hanya sekitar 30%
sekolah-sekolah di Indonesia yang memenuhi standar untuk mengikuti ujian
nasional. Hal itu menyebabkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir
Effendy mengambil tindakan tersebut untuk memperbaiki kualitas pendidikan di
Indonesia dengan menaruh perhatiannya bagi pendidikan sekolah-sekolah yang
kesulitan dan menghentikan UN untuk sementara sampai keadaan lebih baik, atau
sampai ditemukannya cara untuk menyelenggarakan ujian nasional ini seefisien
mungkin dan seadil mungkin.
Mengenai
penghapusan UN ini masih dibicarakan dan dipertimbangkan oleh pemerintah, oleh
karena itu tidak bisa dipastikan bagaimana jadwal pembelajaran yang akan
dihadapi oleh para siswa, masih samakah atau berubah. Perlu diketahui sejak
tahun kemarin UN bukan merupakan syarat kelulusan, adanya UN lebih untuk
mengukur atau sebagai sarana pemetaan pendidikan di Indonesia. Kelulusan para
siswa akan bergantung pada hasil ujian sekolah dan ujian praktik yang
diselenggarakan sekolah, sehingga ada atau tidaknya UN tidak begitu berefek
fatal.
Sistem
pendidikan yang masih berubah-ubah ini merupakan perwujudan perbaikan
pendidikan Indonesia oleh pemerintah, namun tetap dalam mengubahnya sangat
diperlukan pertimbangan matang agar tindakan yang diambil tidak membuat sistem
ini semakin kacau. Semoga apapun tindakan yang diambil dapat semakin memajukan
Indonesia, karena pendidikan adalah dasar penggerak kehidupan dan sarana
pembentuk generasi muda yang siap membangun Indonesia menjadi lebih baik.
ANALISIS
Dalam
pembahasan ini dijelaskan analisa kebijakan UAN yang bertentangan dengan UU
Sisdiknas dan bentuk evaluasi di dalam pendidikan. Pertama, ada anggapan dari
sebagian orang, terutama para pejabat Legislatif yang menganggap bahwa UAN
bertentangan dengan UU Sisdiknas. Dimana Pemerintah telah mengambil kebijakan
untuk menerapkan UAN sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir
Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 disebutkan bahwa tujuan UAN adalah untuk
mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada
siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas.
Begitu
pula evaluasi dalam pendidikan seharusnya dapat memberikan gambaran tentang
pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun
2003. Evaluasi seharusnya mampu memberikan informasi tentang sejauh mana
kesehatan peserta didik. Evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting
seperti yang dipaparkan oleh McNeil. Selain itupula dalam evaluasi pendidikan
diharapkan dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta
didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan juga dapat meningkatkan kreativitas,
kemandirian dan sikap demokratis peserta didik
Dari
paparan di atas, yang menjadi pertanyaan apakah mutu pendidikan dapat diukur
dengan memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun ajaran? Apalagi
bila dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku siswa, apakah
bisa dilihat hanya pada saat sekejap di penghujung tahun? Mutu pendidikan pada
tingkat nasional dapat dilihat dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan UAN
sebagaimana yang dipraktekkan belum menjawab pertanyaan sejauh mana mutu
pendidikan di Indonesia, apakah menurun atau meningkat dari tahun sebelumnya.
Bahkan terdapat indikasi bahwa soal-soal UAN (yang dulu disebut Ebtanas)
berbeda dari tahun ke tahun, dan seandainya hal ini benar maka akibatnya tidak
bisa dibandingkannya hasil ujian antara tahun lalu dengan sekarang. Selain itu
mutu pendidikan tidak mungkin diukur dengan hanya memberikan tes pada beberapa
mata pelajaran ‘penting’ saja, apalagi dilaksanakan sekali di akhir tahun
pelajaran. Mutu pendidikan terkait dengan semua mata pelajaran dan pembiasaan
yang dipelajari dan ditanamkan di sekolah, bukan hanya pengetahuan kognitif
saja. UAN tidak akan dapat menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan anak
didik dalam mengenal seni, olah raga, dan menyanyi. UAN tidak akan mampu
melihat mutu pendidikan dari sisi percaya diri dan keberanian siswa dalam
mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata lain, UAN tidak akan
mampu menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu pendidikan. Artinya tujuan
yang diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan penyelenggaraan
UAN. 
Selain
itu pula UAN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa mata pelajaran
tidak mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta
didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan. Karena tes yang dilaksanakan di
bagian akhir tahun pelajaran tidak dapat memberikan gambaran tentang
perkembangan pendidikan peserta didik, tes tersebut tidak dapat memperhatikan proses
belajar mengajar dalam keseharian karena tes tertulis tidak dapat melihat aspek
sikap, semangat dan motivasi belajar anak selain itu pula tes di ujung tahun
ajaran tidak dapat menyajikan keterampilan siswa yang sesungguhnya dan juga
hasil tes tidak dapat menggambarkan kemampuan dan keterampilan anak selama
mengikuti pelajaran. Oleh karena itu terjadi pertentangan antara tujuan yang
ingin dicapai dengan bentuk ujian yang diterapkan, karena pengukuran hasil
belajar tidak bisa diukur hanya dengan memberikan tes di akhir tahun ajaran
saja.
Kedua,
tujuan UAN yang lain dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003
tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 adalah untuk mengukur
mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di
tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Adalah ironis
kalau UAN dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan pendidikan,
karena pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif, afektif, dan
psikomotor. Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia yang
berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang semuanya itu
tidak dapat dilihat hanya dengan penyelenggaraan UAN. Dengan kata lain, UAN
belum memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban
penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Ketiga,
jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UAN juga tidak sejalan dengan salah
satu prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum yaitu diversifikasi
kurikulum. Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan situasi dan
kondisi daerah masing-masing. Kondisi sekolah di Jakarta dan kota-kota besar
tidak bisa disamakan dengan kondisi sekolah-sekolah di daerah perkampungan,
apalagi di daerah terpencil. Kondisi yang jauh berbeda mengakibatkan proses
belajar mengajar juga berbeda. Sekolah di lingkungan kota relatif lebih baik
karena sarana dan prasana lebih lengkap. Tetapi di daerah-daerah pelosok
keberadaan sarana dan prasarana serba terbatas, bahkan kadang jumlah guru pun
kurang dan yang ada pun tidak kualified akibat ketiadaan. Kebijakan penerapan
UAN dengan standar yang sama untuk semua sekolah di Indonesia telah melanggar
prinsip tersebut dan mengakibatkan ketidakadilan bagi peserta didik yang tentu
saja hasilnya akan jauh berbeda, sedangkan kebijakan yang diambil adalah
menyamakan mereka.
Keempat,
pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran yang dianggap “penting” juga
memiliki permasalahan tersendiri. Sekarang yang terjadi orang akan beranggapan
hanya matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan IPA yang merupakan mata
pelajaran penting. Sedangkan ada diantara kita anak-anak yang memiliki bakat
untuk melukis atau olahraga, mereka akan meragukan bahwa pelajaran tersebut
merupakan pelajaran penting bagi dia. Sehingga bakat tersebut akan terkubur
dengan sendirinya karena yang ada di benak mereka adalah bagaimana mereka bisa
lulus dalam UAN tersebut. Dengan demikian pelaksanaan UAN hanya pada beberapa
mata pelajaran akan mendorong guru untuk cenderung mengajarkan hanya mata
pelajaran tersebut, karena yang lain tidak akan dilakukan ujian nasional. Hal
ini dapat berakibat terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak semua
anak senang pada mata pelajaran yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah
terjadi peremehan terhadap mata pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.
Kelima,
tingkat kreativitas guru empat mata pelajaran tersebut akan terkekang karena
dikejar target untuk menyelesaikan materi. Selain itu pula metode pembelajaran
yang seharusnya bisa disajikan secara menarik dan dikembangkan sesuai dengan
implementasi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari tergantikan dengan
metode drill latihan soal dan peserta didik hanya “dicekoki” dengan bagaimana
dapat menjawab soal-soal pada empat mata pelajaran tersebut.
Keenam,
beberapa orang berpendapat bahwa UAN bertentangan dengan kebijakan otonomi
daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Hal ini dapat
dipahami sebagai berikut. Kebijakan UAN dilaksanakan bersamaan dengan dikeluarkannya
kebijakan otonomi daerah. Selain itu pada saat yang sama juga dikenalkan
kebijakan otonomi sekolah melalui manajemen berbasis sekolah. Evaluasi sudah
seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab daerah termasuk sekolah, tetapi
pelaksanaan UAN telah membuat otonomi sekolah menjadi terkurangi karena sekolah
harus tetap mengikuti kebijakan UAN yang diatur dari pusat. Selain itu UAN
berfungsi untuk menentukan kelulusan siswa. Padahal pendidikan merupakan salah
satu bidang yang diotonomikan, kecuali sistem dan perencanaan pendidikan yang
diatur secara nasional termasuk kurikulum. Di sisi lain, dengan adanya
kebijakan otonomi sekolah yang berhak meluluskan siswa adalah sekolah melalui
kebijakan manajemen berbasis sekolah. UAN telah dijadikan alat untuk “menghakim”
siswa, tetapi dengan cara yang tanggung karena dengan memberikan batasan nilai
minimal 4.25. Dengan menetapkan nilai serendah itu, maka berarti bahwa standar
mutu pendidikan di Indonesia memang ditetapkan sangat rendah. Kalau
direnungkan, apa arti nilai 4 pada suatu ujian. Nilai 4 dapat diartikan hanya
40% dari seluruh soal yang diujikan dikuasai, padahal secara umum pada bagian
lain diakui bahwa nilai yang dapat diterima untuk dinyatakan cukup atau baik
adalah di atas 6. Dengan kata lain, UAN selain menetapkan standar mutu
pendidikan yang sangat rendah telah “menghakimi” semua siswa tanpa melihat
latar belakang, situasi, kondisi, sarana dan prasarana serta proses belajar
mengajar yang dialami terutama siswa di daerah pedesaan.
Sebagaimana
dikemukakan sebelumnya bahwa UAN banyak bertentangan dengan evaluasi pendidikan
bahkan dengan tujuannya sendiri, sehingga sulit dipertahankan. Seandainya
Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UAN maka selama itu perdebatan
dan ketidakadilan akan terjadi di dunia pendidikan karena memperlakukan tes
yang sama kepada semua anak Indonesia yang kondisinya diakui berbeda-beda.
Selain itu salah satu prinsip pendidikan adalah berpusat pada anak, artinya
pendidikan harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Memperlakukan
semua anak dengan memberikan UAN sama artinya menganggap semua anak berpotensi
sama untuk menguasai mata pelajaran yang diujikan, padahal kenyataannya
berbeda.
Sebaiknya,
evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada
jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah
masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan
standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Sekolah yang berkualitas akan
memiliki tes masuk yang relevan, dan sekolah yang kurang bermutu akan
ditinggalkan masyarakat. Selain itu sekolah yang menghasilkan lulusan yang
tidak bisa menerobos ke sekolah berikutnya juga akan ditinggalkan masyarakat.
Dengan demikian akan terjadi persaingan sehat antar sekolah dalam menghasilkan
lulusan yang terbaik dalam arti dapat melanjutkan ke sekolah berikutnya. Sistem
penerimaan dengan mengacu pada UAN akan berakibat pada manipulasi data, bahkan
membuka peluang terjadinya kecurangan. Pada umumnya sekolah berlomba-lomba untuk
meluluskan siswa-siswanya dengan cara memberikan nilai kelulusan yang tinggi.
Tetapi dengan adanya tes masuk pada sekolah berikutnya (kecuali masuk SLTP
harus lanjut karena masih dalam cakupan wajib belajar), maka sekolah akan
berlomba untuk membuat siswanya disamping lulus juga diterima di sekolah
berikutnya. Selain itu sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya ke sekolah
juga diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman untuk melakukan evaluasi
tetap diperlukan dalam memberikan petunjuk bagi guru agar dalam melakukan
evaluasi tetap mengacu kepada kaedah-kaedah evaluasi yang berlaku secara umum.
Apabila
UAN tetap dipertahankan maka tujuan dan pelaksanaannya harus dimodifikasi
dimana UAN bukan bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa tetapi dipakai
sebagai pengendalian mutu pendidikan. Artinya UAN tidak perlu dikaitkan dengan
kelulusan siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan pendidikan pada umumnya.
Dengan tujuan ini maka standar nilai UAN haruslah minimal 6 sebagaimana pada
umumnya dan hanya berpengaruh pada kredibilitas sekolah. Bila suatu evaluasi
mengacu pada hal tersebut di atas maka UAN bukanlah suatu kebijakan yang patut
dipertentangkan lagi.
Oleh
karena itu agar didapat suatu kebijakan nasional yang utuh tentang sistem
penilaian pendidikan maka pemerintah dapat melakukan langkah perumusan ulang
kebijakan UAN dan sistem penilaian tersebut secara komprehensif dengan
melakukan pelurusan kebijakan-kebijakan tersebut. Adapun langkah-langkah yang
dapat ditempuh antara lain pembentukan Tim Perumusan Kebijakan Nasional tentang
Penilaian Pendidikan. Tim ini bisa dibentuk oleh Depdiknas yang BSNP menjadi
leading sectornya dan anggotanya bisa berasal dari elemen-elemen masyarakat
pendidikan, termasuk juga DPR Komisi Pendidikan, para pakar pendidikan,
organisasi profesi independen seperti PGRI, LSM pendidikan dan sebagainya.
Kemudian tim tersebut dapat melakukan evaluasi dan kajian terhadap semua
kebijakan yang terkait dengan penilaian pendidikan di negeri ini misalnya
dengan melakukan studi banding ke negara lain untuk mencari model yang sesuai
dengan Indonesia dan kemudian merumuskannya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku serta melaporkan hasil kerjanya kepada
Pemerintah. Hasil dari kegiatan kajian tersebut akan menghasilkan butir-butir
rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dalam bidang penilaian
pendidikan. Adapun kajian-kajian yang dilakukan tersebut dapat berupa substansi
seperti :
1.
Pelaksana tugas penilaian, seperti penilaian formatif, sumatif dan ujian akhir
serta berbagai jenis penilaian lainnya dari tinggkat dasar sampai perguruan
tinggi
2.
Pengembangan model-model ujian akhir, penentu kelulusan atau tamat sampai
dengan kemungkinan menggunakan ujian akhir online (online assessment) perlu
diantisipasi dalam era teknologi informasi.
3.
Bentuk-bentuk laporan pendidikan seperti rapor, sistem peringkat, sistem
pemberian skor atau nilai.
4.
Apakah diperlukan adanya standar kelulusan sebagimana telah ditetapkan dalam PP
tentang Standar Nasional Pendidikan?
5.
Dan masih banyak yang lainnya yang perlu dikaji secara mendalam.
Proses
kajian dan evaluasi tersebut akan menghasilkan rekomendasi yang akan menjadi
pegangan utama pemerintah untuk merumuskan dalam bentuk Peraturan Pemerintah
(PP).
Terakhir,
pemerintah mengeluarkan PP atau setidaknya Peraturan Menteri tentang sistem
penilaian pendidikan tersebut, untuk kemudian dilaksanakan dimana PP ini secara
komprehensif akan mengatur tentang hal-hal sampai yang terkecil. Setelah PP
dapat diterbitkan maka kebijakan itu harus dilaksanakan secara konsekuen dan
konsisten.
KRITIK
DAN SARAN
Begitu
banyak pertentangan tentang kebijakan UAN dengan model evaluasi pendidikan yang
seharusnya, tujuan pendidikan nasional maupun dengan tujuan UAN itu sendiri.
Dimana kebijakan UAN kontra produktif bagi pendidikan nasional dan tujuan yang
ingin dicapai menjadi gagal total bahkan hanya menimbulkan masalah baru.
Kecurangan sistematik tidak hanya mengaburkan pemetaan mengenai kondisi
pendidikan nasional tapi juga berdampak buruk bagi guru dan murid dan juga
kreativitas murid terkungkung karena perhatian dan porsi pembelajaran lebih
besar pada mata pelajaran pilihan pemerintah. Padahal tujuan pendidikan
sesungguhnya adalah membentuk manusia cerdas, penuh kreativitas dan mandiri
serta dapat mengatasi segala persoalan yang dihadapi.
Oleh
karena itu pemerintah harus mengkaji ulang tentang kebijakan UAN ini atau
memberikan kepercayaan kepada tim agar dapat melakukan kegiatannya secara
optimal. Dengan cara demikian maka perumusan kebijakan nasional pendidikan akan
berjalan sesuai dengan aspirasi masyarakat dan menghasilkan kebijakan yang
tepat bagi perkembangan bangsa dan Negara di masa mendatang.
DAFTAR RUJUKAN
Valerie,Vivian.
2016 http://www.kompasiana.com/amp/vivianvalerie/
penghapusan-ujian-nasional-un-2017-berita-baik-atau buruk _5839bce252f9fd2414e9bbdf.(online).diakses
6 Desember 2016.
 
No comments:
Post a Comment